Saturday, December 25, 2010

Dokter di Indonesia juga Bisa Lakukan Cangkok Hati

Kemampuan dokter di Indonesia sebenarnya tak kalah dengan dokter di negara-negara maju. Terbukti kini para dokter di Indonesia pun sudah bisa melakukan operasi cangkok (transplantasi) hati.

Masalah penyakit hati kronik di Indonesia merupakan problem yang sangat besar. Karenanya pertukaran informasi dan keterampilan antara dokter di Indonesia dan China dalam hal transplantasi sangat bermanfaat untuk perkembangannya di Indonesia.

"Transplantasi merupakan tindakan medis yang kompleks, dan membutuhkan sistem serta tim dokter yang solid dari berbagai disiplin ilmu," ujar Prof Shu-sen Zheng dari The First Affiliated Hospital, College of Medicine, Zheijang University, China, dalam acara konferensi pers tentang transplantasi hati FKUI-RSCM di Ruang Soekardjo Gedung A RSCM, Sabtu, (18/12/2010).

Sementara itu Dirut RSCM, Prof Akmal Taher, SpU menuturkan kerjasama ini melibatkan rumah sakit pemerintah yaitu RSCM, rumah sakit swasta yaitu Pondok Indah Group dan juga tim transplantasi hati Hepatobiliary and pancreatic disease, First Affiliated Hospital, Zhejiang University School of Medicine, Hangzhou, China.

Saat ini FKUI-RSCM telah memiliki tim transplantasi hati yang antara lain beranggotakan dokter bedah digestive, dokter bedah vaskuler, dokter bedah anak, dokter gastro-hepatologi anak, dokter hepatologi penyakit dalam, dokter gastroenterologi penyakit dalam, dokter PICU, dokter anestesi dan intensif care, dokter radiologi, dokter ahli patologi anatomi, dokter ahli patologi klinis, dokter farmakologgi, dokter spesialis kejiwaan, dokter gizi klinis serta perawat.

Pasien pertama yang melakukan transplantasi hati adalah seseorang berusia 44 tahun yang mana donornya adalah anaknya sendiri berusia 18 tahun. Pasien menjalani transplantasi hati karena mengalami sirosis hati (pengerasan hati) akibat penyakit hepatitis B kronik. Keluhan pasien dimulai tahun 2004 dengan gejala mual, muntah, nyeri ulu hati dan mata mulai menguning. Tahun 2010 diketahui ia mengalami sirosis hati tahap lanjut.

Setelah mendapat persetujuan, akhirnya operasi transplantasi hati dilakukan pada tanggal 13 Desember 2010 yang mana seluruh hati pasien diangkat dan digantikan dengan hati sisi sebelah kanan donor. Saat ini pasien dan donor dalam kondisi stabil dan dirawat ICU RSCM untuk menjalani evaluasi post-operasi.

"Kesulitan yang dihadapi adalah hepatic arteri lapisan dalamnya robek sehingga sulit melakukan penyambungan, tapi tindakan penyambungan ini berhasil dilakukan selama 3 jam dan operasi berjalan dengan baik," ungkap Prof Shu-sen Zheng yang baru saja mendapatkan gelar Adjunct Professor dari FKUI.

Sementara operasi transplantasi kedua dilakukan pada anak berusia 6 tahun dengan ayahnya berusia 33 tahun sebagai donor. Keluhan awal pasien adalah lemas dan mata kuning, kemudian didiagnosis mengalami penyakit hepatitis autoimun yang telah mencapai gagal hati tahap akhir. Pasien telah mengalami perawatan beberapa kali dan juga telah diketahui mengalami sirosis hati.

Setelah mendapat persetujuan, operasi dilakukan tanggal 15 Desember 2010 yang mana seluruh hati pasien diangkat dan diganti dengan sebagian hati lobus kiri sang ayah. Saat ini pasien dan donor dalam kondisi stabil dan dirawat ICU RSCM untuk menjalani evaluasi post-operasi.

"Untuk operasi pada orang dewasa merupakan yang pertama di Indonesia, karena sebelumnya operasi dilakukan pada anak-anak seperti yang pernah dilakukan di Semarang dan Surabaya," ungkap Prof Akmal.

Prof Shu-sen Zheng menuturkan untuk menentukan kesuksesan dari transplantasi hati ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Pre-operasi, yaitu menentukan diagnosis dan juga kondisi pasien.
2. Operasi, yaitu dengan melakukan teknik operasi yang baik.
3. Post-operasi, yaitu melakukan perawatan setelah operasi secara profesional.


Meski demikian operasi untuk tranplantasi hati ini memang membutuhkan biaya yang besar dan berbeda-beda di beberapa negara, misalnya di China biayanya sekitar Rp 500-550 juta, di Jepang sekitar Rp 900 juta-1 miliar, di Singapura sekitar Rp 1,1 miliar, sedangkan jika di Amerika Serikat akan lebih mahal lagi.

"Kalau biaya di RSCM sekitar Rp 1 M untuk awalnya, tapi untuk pasien seterusnya atau yang ke 3, 4 atau 5 diharapkan biayanya sekitar 600-700 juta," ujar dr Sastiono, SpB, SpBA.

Namun ke depannya sedang dilakukan negosiasi dengan Jamkesmas, LSM dan juga beberapa perusahaan dalam hal program CSR nya, sehingga diharapkan biayany bisa menjadi lebih murah. Tapi untuk pasien yang mampu diharapkan bisa dengan biayanya sendiri.

Selain itu diharapkan semakin hari perkembangan pengetahuan dan keterampilan transplantasi hati di Indonesia semakin baik.

No comments:

Post a Comment